Essai Mata Kuliah Problematika Dalam Pembelajaran Sejarah

Tantangan Guru Sejarah di Abad ke-21

oleh : Dewonggo Satrio Nugroho

Seiring perkembangan jaman, manusia selalu dihadapkan dengan tantangan-tantangan baru di hidupnya, terlebih memasuki abad  ke-dua puluh satu ini tantangan-tantangan tersebut masih selalu muncul. Ditambah dengan pertumbuhan jumlah manusia yang membesar, manusia semakin membutuhkan ketersediaan kebutuhan hidup mereka dan lingkungan baru yang sesuai untuk dihuni dalam kuantitas dan kualitas yang bagus pula. Sumber daya alampun telah termanfaatkan dan karenanya menimbulkan perubahan-perubahan lingkungan, tetapi toh kebutuhan-kebutuhan manusia tetap belum terpenuhi. Akhirnya, muncul kesadaran manusia, bahwa dengan kondisi lingkungan alam yang demikian, manusia tidak dapat hidup secara layak. Manusia harus lebih giat lagi mengembangkan potensi-potensi akalnya dan menyalurkan potensi-potensi tersebut lewat penciptaan teknologi agar kesulitan-kesulitan dan tantangan yang menghadang kehidupan manusia dapat diatasi. Demikian pula pada dunia pendidikan khususnya dalam pendidikan sejarah tantangan abad dua puluh satu pun dirasa perlu di hadapi dengan bijak. Kamarga dkk (2013) menyatakan bahwa “History is not only comprehended as the great men history, personal history, and heroes history, but also now history gives presses to the evolution, growth, development of the human civilization”(hlm. 142) sekarang ini sejarah bukan hanya berfokus pada kejadian dimasa lalu atau mengenai orang-orang besar saja tetapi sekarang ini melalui sejarah kita dapat menganalisis kecenderungan-kecenderungan yang ada di masyarakat dengan kata lain sejarah dapat dijadikan proyeksi bagi kita supaya tidak terjadi kesalahan-kesalahan dimasa selanjutnya. Oleh karena itu pembelajaran sejarah diabad ke-dua puluh satu dalam dunia pendidikan dirasa sangat penting. Kemampuan guru harus mumpuni untuk mengajarkan sejarah berdasarkan tantangan-tantangan yang ada diabad ke-dua puluh satu ini, dengan artian jika hanya mengandalkan cara mengajar konvensional seperti berceramah tentu tidak mampu untuk menghadapi tantangan tersebut.

Kamarga dkk (2013, hlm 142-143) mengemukakan bahwa This research focused on developing a history education model so that can reach the need of the teachers’ skill in the 21st century based on the four converging forces, they are knowledge work, thinking tools, digital lifestyless, and learning research

dimana dalam knowledge works siswa diharapkan mampu untuk membuat inovasi-inovasi dalam memecahkan masalah, lalu dalam thinking tools siswa dapat mengaktualisasikan dari cara berpikir itu sendiri atau siswa dapat membuat partisipasi aktif, kreatif, dan inovatif dalam transformasi global dalam kehidupan sehari-hari mereka. Digital lifestyless adalah  gaya hidup yang tidak bisa terlepas dari thingking tools itu sendiri seperti jika kita tidak tahu bagaimana teknologi bekerja maka kita akan tertinggal, sedangkan learning research adalah siswa harus berpikir seperti peneliti mencari dan menemukan sesuatu yang baru. Keempat kekuatan konvergen tersebut dapat ditunjang dalam pemanfaatan ICT (information, communication, and technologi) yang semakin berkembang pesat diabad ke-dua puluh satu ini. Melalui ICT siswa dapat dengan mudah mengumpulkan sumber-sumber pembelajaran dengan mudah, selalu dapat mendapatkan informasi terbaru yang ada disekitar dengan mudah, dapat terhubung dengan individu lain dengan mudah untuk sekedar melakukan sharing, dan masih banyak lagi. Selain siswa ICT juga menunjang pihak guru atau pendidik untuk lebih mengefektifkan pembelajaran sejarah dikelas. Sementara itu, menurut Kemendikbud RI (2013), ada empat ciri abad 21 yang berimplikasi pada bidang pembelajaran. Pertama, tersedianya informasi di mana saja dan kapan saja, berimplikasi bahwa model pembelajaran diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dari berbagai sumber informasi dan bukan diberi tahu. Kedua, ciri komputasi, yaitu penggunaan mesin yang menyebabkan semuanya menjadi lebih cepat, mengharuskan pembelajaran diarahkan untuk mampu merumuskan masalah (menanya) dan bukan hanya menyelesaikan masalah (menjawab). Ketiga, ciri otomasi, yang mampu menjangkau semua pekerjaan rutin, membuat pembelajaran harus diarahkan untuk melatih berfikir analitis (pengambilan keputusan) dan berfikir mekanistis (rutin). Dan, keempat, cirri komunikasi yang semakin cepat, menuntut pembelajaran menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah (Suyanto, 2013 hlm. 3).

Pada kenyataan yang sekarang ini masih banyak di sekolah-sekolah di berbagai pelosok negeri ini yang belum bisa mengaplikasikan ICT dalam kegiatan belajar mengajar sejarah. Masih banyak guru-guru sejarah yang menggunakan cara belajar konvensional seperti berceramah. Padahal metode tersebut di nilai sudah tertinggal di era 21 seperti sekarang ini, jika metode ini tetap diterapkan maka keempat kekuatan konvergen masih sangat jauh untuk dicapai. Hal ini terjadi bukan hanya tanpa alasan beberapa alasannya seperti kondisi sekolah yang masih terisolir dengan sarana dan prasarana yang sangat terbatas sehingga sarana yang mendukung ICT pun masih sangat terbatas hal ini mendukung kondisi penggunaan metode konvensional masih sering dilakukan, karena mau tidak mau semua sumber informasi hanya berasal dari guru (teacher centre). Selain itu alasan lainnya adalah banyak guru sejarah yang masih belum bisa keluar dari zona nyaman mereka dengan menggunakan metode konvensional, hal ini bisanya terjadi pada guru-guru senior yang sudah terbiasa menggunakan cara seperti ini sejak lama dan menganggap cara ini adalah cara terbaik untuk menyampaikan materi sejarah sehingga mereka enggan untuk mencoba cara-cara lain termasuk cara dengan basis ICT.

Solusi untuk permasalahan sekolah yang terisolir dengan sarana dan prasarana yang terbatas adalah terselenggaranya pendidikan layanan khusus seperti yang tertulis pada Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan nomor 72 tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus khususnya pada pasal 3 ayat 1 tentang program layanan pendidikan  yang kemudian dijabarkan dalam pasal 5 poin e disebutkan bahwa salah satu program layanan yang dimaksud dapat berupa pendidikan jarak jauh yang menyelenggarakan layanan pendidikan tertulis, radio, audio, video, TV, dan/atau berbasis IT. Pertanyaannya, siapa yang menyediakan infrastrukturnya dan siapa yang menyediakan konten (materi) pendidikan  maupun pendidik untuk menyelenggarakan sekolah jarak jauh? Tanpa mengesampingkan kementerian yang lain, dalam persoalan ini memang perlu membangun kerjasama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Maria, 2014) . Sedangkan untuk permasalahan guru yang tetap mempertahankan cara mengajar yang konvensional dapat di atasi dengan cara memberikan motivasi kepada guru tersebut tentang perlunya ICT disaat sekarang ini, pelatihan dan berbagi (sharing) dengan guru lain dilain tempat.
 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Kamarga. Dkk. (2013). International Journal of History Education.History Education Model Development for the 21st Century, 16 (2), hlm.141-162.

 

Suyanto. 2013. Mozaik Teknologi Pendidikan e-learning. Jakarta: Prenada media Group.

 

Maria, D. (2014). Pemenuhan Pendidikan di Daerah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal. [online]. Diakses dari http://www.kompasiana.com/deasymaria/pemenuhan-pendidikan-di-daerah-terdepan-terpencil-dan-tertinggal_54f7b66fa333112e1f8b47ca.